The movie
was entertaining but nothing special.
Dalam ranah franchise, Tidak banyak film installment ketiga
yang mampu mendulang hasil melegakan. Tidak percaya? Dalam kurun waktu
2016, lihat saja performa dan ulasan mengenai film babak ketiga yang
dirilis, seperti Kung Fu Panda 3, The Divergent Series: Allegiant,
Barbershop: The Next Cut, The Purge: Election Year, X-Men: Apocalypse,
hingga ke Star Trek Beyond. Atau mau ditarik lebih jauh lagi, silakan.
Maka tidak heran, dalam X-Men: Apocalypse sendiri perihal kegagalan
film-film episode tiga itu senpat disinggung dalam salah satu dialognya, “The third one’s always
the worst.”
Sudah tentu dari ilustrasi di atas, lagi Inferno bisa dikatakan
merupakan film seri Robert Langdon yang tekanannya paling berat. Terlebih,
belum apa-apa film ini sudah meninggalkan kesan negatif, di mana faktanya
Inferno sempat mengalami beberapa kali perubahan jadwal rilis.
Apakah generalisasi tersebut dapat dihindari oleh sineas Ron Howard dalam
menukangi Inferno untuk lolos dari lubang jarum guna menggairahkan
kembali aksi sepak terjang Robert Langdon serta menjembatani gap
sepanjang delapan tahun dengan film sebelumnya?
Mengetengahkan kisah di buku keempat, untuk kali kedua, aksi simbolog
hebat kreasi Dan Brown ini bergerak tidak teratur andaikata merujuk pada timeline
penerbitan novelnya. Seperti The Da Vinci Code yang notabene
adalah buku kedua seri ini, Inferno sejatinya bukan kisah ketiga
Langdon, melainkan yang keempat, setelah The Lost Symbol. Sungguhpun
demikian, dari segi kontinuitas, hal itu tidak ada pengaruh apapun, karena toh
masing-masing installment tersebut bisa dikatakan tidak memiliki kaitan
signifikan sama sekali. Walaupun demikian, sepertinya Howard juga aware
dengan hal ini, karena ia ternyata menyisipkan juga cuplikan-cuplikan adegan
dari dua film sebelumnya.
Sebagaimana film adaptasi novel lainnya, faktor jalan cerita bukanlah hal
yang utama dalam menganalisis apakah Inferno masuk kategori berhasil
ataukah tidak. Perihal jauh lebih menarik, sudah tentu adalah menyoroti
bagaimana Howard menghidupkan kembali saga novel yang sejatinya “sudah lewat masa
keemasannya” tersebut dan bagaimana performa sang bintang utama, Tom
Hanks menjembatani karakter yang terakhir ia mainkan delapan tahun yang lalu.
Untuk itu, seperti halnya yang tertuang dalam karya seni pelukis Italia
Sandro Botticelli, Map of Hell yang menjadi salah satu faktor penting
kali ini, mari kita telaah satu persatu tingkatan-tingkatan yang membangun
installment ketiga dari seri novel Robert Langdon ini.
Yang pertama, dari segi cerita. Sama halnya dengan materi Angels &
Demons, film aksi ketiga Robert Langdon ini tergolong minim kontroversi
jika dibandingkan dengan muatan kontroversial yang dikedepankan Brown di The
Da Vinci Code. Meski demikian, Howard mampu menonjolkan unsur horor yang
ada dalam kisah kali ini lewat visual-visual mencekam saat menggambarkan
adegan-adegan mimpi buruk Langdon yang mengerikan. Meski tidak terlalu
signifikan efeknya, namun setidaknya hal itu mampu menjadikan film ini berbeda
dengan dua film pendahulunya.
Memang masih mengusung karakteristik khas saganya, yaitu membawa audiens
berkeliling dunia sembari mendapat penjabaran mengenai beragam elemen penting
ikonografi dan mitologi Kristiani untuk memperdalam selera mereka pada teori
konspirasi fiksi yang sudah menjadi ciri khas dan aspek paling menonjol dari franchise
ini. Namun, penyisipan unsur-unsur tersebut tak ubahnya tempelan. Kalau mau
jujur dan ditelaah lebih lanjut bisa dikategorikan lemah sekali kaitan
artefak-artefak maupun situs bersejarah yang dikedepankan di sini.
Terlepas dari problematika film-film adaptasi novel lain, yakni bagian mana
dari kisah bukunya yang tidak dipakai, serta beberapa aksi tambal-sulam yang
dlakukan sang sineas untuk mengakomodir filmnya ini, sajian Inferno
hingga memasuki paruh kedua sebenarnya cenderung menarik. Sayang, mendekati
babak klimaks, hal ini tidak berhasil dijaga. Akibatnya memasuki pertengahan
durasi, pace film ini terasa terganggu dan cenderung menjadi agak dragging.
Tidak hanya itu, walaupun memang sudah tertuang di novelnya, sang
sineas kurang berhasil mengolah muatan twist yang ada menjadi lebih greget
dan berkualitas di versi filmnya. Akibatnya, storyline yang
sudah terbangun baik di paruh awal, terasa berantakan di paruh akhirnya.
Yang menjadi poin positif film ini paling hanyalah Tom Hanks. Di mana, meski
peranannya kali ini agak berbeda dengan karakteristik Langdon di dua film lalu
(dikarenakan situasi yang dialami karakternya di awal penceritaan), sang aktor
terlihat mudah saja untuk melebur ke dalam karakter ini, seraya menambahkan
beberapa dimensi baru di karakter yang ia perankan.
Sedangkan, untuk dua golongan penonton film ini, kalangan pembaca ataupun
bukan pembaca novelnya, sajian Inferno memiliki cacat tersendiri. Untuk
kalangan bukan pembaca novel, fakta bahwa misteri dan teka-teki kali ini
bukan berasal dari zaman dahulu, melainkan disusun oleh karakter modern mungkin
sedikit terasa mengganggu, di samping minimnya adegan pembangun twist
yang ada di sini. Sedangkan, bagi kalangan pembaca novel, yang paling
mengganggu adalah porsi tambal sulam besar yang membuat output filmnya
ini punya perbedaan radikal dengan materi aslinya.
Secara paket tontonan, boleh dikatakan Inferno mampu memupus
kerinduan para penyuka franchise Robert Langdon, namun sayangnya tidak
mampu berbuat banyak selain fungsi tersebut. Film ini tidak ubahnya hanya
sekadar film aksi thriller biasa yang sama sekali tidak istimewa dan
rasanya mudah dilupakan begitu saja meski bersumber dari franchise novel
bestseller dunia.
(Columbia Pictures,
Sony Pictures)
Directed by: Ron Howard
Starring: Tom Hanks,
Felicity Jones, Omar Sy, Sidse Babett Knudsen, Ben Foster, Irrfan Khan, Ana
Ularu, Jon Donahue, Ida Darvish, Kata Sarbó, Wolfgang Stegemann, Xavier
Laurent
Genre: Drama, Thriller,
Adventure
Running time: 121 minutes