Selasa, 25 Oktober 2016

Inferno


The movie was entertaining but nothing special.


Dalam ranah franchise, Tidak banyak film installment ketiga yang mampu mendulang hasil  melegakan. Tidak percaya? Dalam kurun waktu 2016,  lihat saja performa dan ulasan mengenai film babak ketiga yang dirilis, seperti Kung Fu Panda 3, The Divergent Series: Allegiant, Barbershop: The Next Cut, The Purge: Election Year, X-Men: Apocalypse, hingga ke Star Trek Beyond. Atau mau ditarik lebih jauh lagi, silakan. Maka tidak heran, dalam X-Men: Apocalypse sendiri perihal kegagalan film-film episode tiga itu senpat disinggung dalam salah satu dialognya,The third one’s always the worst.” 

 
 
Sudah tentu dari ilustrasi di atas, lagi Inferno bisa dikatakan merupakan film seri Robert Langdon yang tekanannya paling berat. Terlebih, belum apa-apa film ini sudah meninggalkan kesan negatif, di mana faktanya Inferno sempat mengalami beberapa kali perubahan jadwal rilis.
Apakah generalisasi tersebut dapat dihindari oleh sineas Ron Howard dalam menukangi Inferno untuk lolos dari lubang jarum guna menggairahkan kembali aksi sepak terjang Robert Langdon serta menjembatani gap sepanjang delapan tahun dengan film sebelumnya?
 Mengetengahkan kisah di buku keempat, untuk kali kedua, aksi simbolog hebat kreasi Dan Brown ini bergerak tidak teratur andaikata merujuk pada timeline penerbitan novelnya. Seperti  The Da Vinci Code yang notabene adalah buku kedua seri ini, Inferno sejatinya bukan kisah ketiga Langdon, melainkan yang keempat, setelah The Lost Symbol. Sungguhpun demikian, dari segi kontinuitas, hal itu tidak ada pengaruh apapun, karena toh masing-masing installment tersebut bisa dikatakan tidak memiliki kaitan signifikan sama sekali. Walaupun demikian, sepertinya Howard juga aware dengan hal ini, karena ia ternyata menyisipkan juga cuplikan-cuplikan adegan dari dua film sebelumnya.


  
Sebagaimana film adaptasi novel lainnya, faktor jalan cerita bukanlah hal yang utama dalam menganalisis apakah Inferno masuk kategori berhasil ataukah tidak. Perihal jauh lebih menarik, sudah tentu adalah menyoroti bagaimana Howard menghidupkan kembali saga novel yang sejatinya “sudah lewat masa keemasannya”  tersebut dan bagaimana performa sang bintang utama, Tom Hanks menjembatani karakter yang terakhir ia mainkan delapan tahun yang lalu. Untuk itu, seperti halnya yang tertuang dalam karya seni  pelukis Italia Sandro Botticelli, Map of Hell yang menjadi salah satu faktor penting kali ini, mari kita telaah satu persatu tingkatan-tingkatan yang membangun installment ketiga dari seri novel Robert Langdon ini.


Yang pertama, dari segi cerita. Sama halnya dengan materi Angels & Demons, film aksi ketiga Robert Langdon ini tergolong minim kontroversi jika dibandingkan dengan muatan kontroversial yang dikedepankan Brown di The Da Vinci Code. Meski demikian, Howard mampu menonjolkan unsur horor yang ada dalam kisah kali ini lewat visual-visual mencekam saat menggambarkan adegan-adegan mimpi buruk Langdon yang mengerikan. Meski tidak terlalu signifikan efeknya, namun setidaknya hal itu mampu menjadikan film ini berbeda dengan dua film pendahulunya.  
Memang masih mengusung karakteristik khas saganya, yaitu membawa audiens berkeliling dunia sembari mendapat penjabaran mengenai beragam elemen penting ikonografi dan mitologi Kristiani untuk memperdalam selera mereka pada teori konspirasi fiksi yang sudah menjadi ciri khas dan aspek paling menonjol dari franchise ini. Namun, penyisipan unsur-unsur tersebut tak ubahnya tempelan. Kalau mau jujur dan ditelaah lebih lanjut bisa dikategorikan lemah sekali kaitan artefak-artefak maupun situs bersejarah yang dikedepankan di sini.


Terlepas dari problematika film-film adaptasi novel lain, yakni bagian mana dari kisah bukunya yang tidak dipakai, serta beberapa aksi tambal-sulam yang dlakukan sang sineas untuk mengakomodir filmnya ini, sajian Inferno hingga memasuki paruh kedua sebenarnya cenderung menarik. Sayang, mendekati babak klimaks, hal ini tidak berhasil dijaga. Akibatnya memasuki pertengahan durasi, pace film ini terasa terganggu dan cenderung menjadi agak dragging
 Tidak hanya itu, walaupun memang sudah tertuang di novelnya, sang sineas kurang berhasil mengolah muatan twist yang ada menjadi lebih greget dan berkualitas  di versi filmnya. Akibatnya, storyline yang  sudah terbangun baik di paruh awal, terasa berantakan di paruh akhirnya. 
            Yang menjadi poin positif film ini paling hanyalah Tom Hanks. Di mana, meski peranannya kali ini agak berbeda dengan karakteristik Langdon di dua film lalu (dikarenakan situasi yang dialami karakternya di awal penceritaan), sang aktor terlihat mudah saja untuk melebur ke dalam karakter ini, seraya menambahkan beberapa dimensi baru di karakter yang ia perankan.

  
Sedangkan, untuk dua golongan penonton film ini, kalangan pembaca ataupun bukan pembaca novelnya, sajian Inferno memiliki cacat tersendiri. Untuk kalangan bukan pembaca novel, fakta bahwa misteri dan teka-teki  kali ini bukan berasal dari zaman dahulu, melainkan disusun oleh karakter modern mungkin sedikit terasa mengganggu, di samping minimnya adegan pembangun twist yang ada di sini. Sedangkan, bagi kalangan pembaca novel, yang paling mengganggu adalah porsi tambal sulam besar yang membuat output filmnya ini punya perbedaan radikal dengan materi aslinya.     
Secara paket tontonan, boleh dikatakan Inferno mampu memupus kerinduan para penyuka franchise Robert Langdon, namun sayangnya tidak mampu berbuat banyak selain fungsi tersebut. Film ini tidak ubahnya hanya sekadar film aksi thriller biasa yang sama sekali tidak istimewa dan rasanya mudah dilupakan begitu saja meski bersumber dari franchise novel bestseller dunia.

(Columbia Pictures, Sony Pictures)
Directed by: Ron Howard
Starring: Tom Hanks, Felicity Jones, Omar Sy, Sidse Babett Knudsen, Ben Foster, Irrfan Khan, Ana Ularu, Jon Donahue, Ida Darvish, Kata Sarbó, Wolfgang Stegemann, Xavier Laurent 
Genre: Drama, Thriller, Adventure
Running time: 121 minutes









The Accountant






It has flashes of John Wick action, however, it also isn't primarily a drama focusing on his autistic/accounting side of things

                Jujur saja sangat sulit pada awalnya untuk menyusun ulasan mengenai film aksi thriller terbaru Ben Affleck yang satu ini. Pasalnya, saat menonton, di mana sebelumnya sudah membekali diri dulu dengan dosis lebih dari cukup informasi balik layar seputar film yang akan ditonton (yang terkadang menjadikan buah simalakama tersendiri, kala hasil sajiannya di bawah ekspektasi), The Accountant  dilahap nyaris tanpa mengetahui perihal balik layarnya sama sekali, selain fakta bahwa selain yang duduk di bangku penyutradaraan adalah Gavin O’Connor yang menuai banyak pujian lewat Warrior . Berani taruhan, unsur ataupun jejak Warrior bakal dapat dijumpai di sini.
                Sungguhpun demikian, tidak bisa dipungkiri pula  ternyata di 2016 ini nama sang sineas sebenarnya tidak dalam sorotan positif, setelah film aksi drama western-nya, Jane Got a Gun yang dirilis di awal tahun terbukti diapresiasi buruk oleh banyak kalangan, setelah sebelumnya mengalami penundaan tayang.  Padahal, dibintangi aktris kaliber Oscar, Natalie Portman. Pendeknya, The Accountant tidak ubahnya menjadi ajang pertaruhan besar bagi O’Connor sendiri, yang andaikata gagal akan membuat namanya semakin terkubur.


                Untungnya, sang sineas mampu menunjukkan kelasnya kembali lewat garapan terbaru ini. Meski harus diakui, jika disandingkan dengan film yang paling dekat perbandingannya baik secara muatan aksi, tone kisah, maupun sensasi yang didapat yakni John Wick, The Accountant lebih rumit dari segi penceritaannya, namun secara keseluruhan film ini berhasil tampil impresif dan besar kemungkinan akan mampu menghibur bahkan mengejutkan para penontonnya.
                Pasalnya, selain judul yang menipu dengan mengedepankan profesi karakter tokoh yang dimainkan Affleck di sini (yang mengesankan filmnya akan lebih berkutat seputar hitung-hitungan atau tentang ekonomi ), adegan tembak-menembak dan aksi memacu adrenalin justru menjadi sajian utama.
                Dari segi kisah, sebetulnya bisa dibilang sederhana, dengan fokus tentang seorang anak autis yang tumbuh besar menjadi seorang akuntan piawai dan ahli beladiri di atas rata-rata berkat gemblengan keras sang ayah yang tidak ingin sang bocah menjadi bulan-bulanan rekan sebayanya. Sedangkan, konflik utama yang dikedepankan adalah aksi ‘heroik’ sang akuntan menyelamatkan korban tak bersalah saat kasus keuangan yang diusutnya ternyata berbuntut panjang.   



                Seperti telah disinggung sebelumnya, kesan John Wick begitu kental di sini. Hal ini dikarenakan saat menyaksikan aksi lugas karakter Christian Wolff saat beraksi, sangat sulit untuk tidak membandingkan dengan aksi Keanu Reeves sebagai John Wick. Itu saja. Film garapan O’Connor ini masih memiliki amunisi lain, berupa sorotan mengenai autisme yang terbukti mumpuni mendongkrak secara efektif penokohan karakter utamanya. Selain John Wick, jejak –jejak film lain yang seakan turut andil di dalamnya adalah Good Will Hunting, Drive, dan Merantau (ataukah The Raid?). Mengapa demikian?  Silakan simak sendiri film-film tersebut setelah menyaksikan  The Accountant ini.  
                Seperti telah diduga, sesuai tebakan, jejak Warrior memang kami jumpai di sini. Sayangnya, kali ini sang sineas terkesan kebingungan dalam menyisipkannya, sehingga hasilnya cenderung tumpang-tindih dengan konflik utama storyline yang dikedepankan pun juga dengan konklusinya yang kurang smooth dan terkesan setengah matang.



                Faktor plus film yang sangat kental nuansa proyek Batman baru ini (Ben Aflleck sebagai  yang sudah didaulat sebagai pemeran utama sekaligus sutradaranya, J.K. Simmons (Commisioner Gordon), dan spekulasi pemain penting lain di film ini yang juga bakal bergabung di proyek ini) tidak lepas dari penampilan sang aktor utamanya, Ben Affleck yang di sini mampu memperlihatkan performa apik nya sebagai pengemban karakter sentralnya. Bahkan rasanya, ini adalah penampilan terbaik sang aktor sejauh ini. Begitu dominannya,  ia ibarat sukses memimpin film ini nyaris sendirian, karena penampilan para pemain lainnya rasanya tidak ada lagi yang istimewa.
                Ditinjau dari berbagai aspek, The Accountant bukan film yang sempurna,  banyak kekurangannya malah, seperti ketidakkonsistenan sang sineas menjaga pace cerita dan editing yang buruk adalah beberapa minus yang menonjol. Akan tetapi, walaupun demikian, meski masih sedikit kalah kelas dibandingkan film pembandingnya, sulit dipungkiri bahwa melalui The Accountant, O’Connor bisa dikatakan berhasil menyajikan sebuah paket tontonan menghibur, khususnya bagi kalangan penyuka aksi thriller cerdas ataupun para penikmat aksi old school yang memacu adrenalin, dan memiliki kualitas di atas kebanyakan film blockbuster musim panas yang sebagian besar hasilnya mengecewakan. 

(Warner bros Pictures)

Directed by: Gavin O’Connor
Starring: Ben Affleck, Anna Kendrick, J. K. Simmons, John Lithgow, Jeffrey Tambor, Cynthia Addai-Robinson, Jon Bernthal
Genre: Drama, Action, Thriller, Spionage
Running time: 128 minutes