Selasa, 18 Oktober 2016

Don’t Breathe




What makes a thriller good? It's the suspense. And without a shadow of a doubt, that this film delivers just that.

                Pasca periode musim panas berakhir, di ranah perfilman merupakan ajang kesempatan bagi film-film skala kecil produksi Hollywood menebar pesonanya dalam berlomba-lomba untuk menarik simpati penonton. Di sinilah biasanya bermunculan film-film kejutan yang lantas menjadi buah bibir banyak kalangan dan tak jarang beberapa di antaranya menjelma menjadi film kuda hitam di tahun tersebut. Film-film semacam ini umumnya memiliki karakteristik serupa, diproduksi dengan dana terbatas, minim pemain bintang, minim special effect pun setting-nya, serta rata-rata mengusung formula jalinan kisah yang sebenarnya sederhana, namun punya keunggulan tak terduga di faktor cerita dan penyajiannya.

                Itu pula yang dapat dijumpai di Don’t Breathe, film drama aksi thriller mencekam besutan teranyar Fede Alvarez yang lagi-lagi sanggup mencuri perhatian kalangan khususnya para penyuka horor usai sang sineas mengawali debutnya lewat remake Evil Dead tiga tahun silam. Di sini, sang sineas menyuguhkan kisah horor yang jauh dari kesan supranatural (karena memang bukan horor tentang hantu-red) namun fresh dari segi cerita pun personifikasi horornya sendiri.

 
                 Dengan setting utama sebuah rumah tua yang lumayan megah, Alvarez hanya membutuhkan empat-lima orang plus seekor anjing rottweiler saja untuk menciptakan sebuah sajian kisah horor yang mampu mencekam dan membuat penonton tercekat. Adapun keunggulan utama Don’t Breathe ada pada kebrilianan sang sineas dalam mengemas kisahnya.


               Betapa tidak, tiga tokoh protagonisnya bukan figur-figur yang notabene layak mendapat simpati, karena terdiri para pencuri yang harus pontang-panting menyelamatkan nyawa saat aksi tindak kriminal mereka berubah jadi situasi di luar kendali, sedangkan sosok horornya tampil dalam diri si korban yang tampak luarnya seperti sasaran empuk namun terbukti justru menjadi pemberi mimpi buruk dalam mencegah para pencuri bisa keluar dari rumahnya dalam keadaan hidup. Hasilnya, sangat brutal (meski tidak tidak menjurus gore-red), serta menjadi film yang storyline-nya belum pernah tersaji sebelumnya.



               Meski dukungan performa apik para pemain kuncinya, seperti kolaborator Alvarez dari film sebelumnya, Jane Levy yang memerankan tokoh pencuri wanita bernama Rocky dan Stephen Lang sebagai si buta pembawa maut tidak bisa dikesampingkan begitu saja, faktor kunci kesuksesan Don’t Breathe ada di tangan Alvarez yang sangat jeli menjadikan film ini seperti apa yang dimaunya. Buktinya, sang sineas paham benar bagaimana menciptakan kengerian bagi kalangan penontonnya dengan penempatan jump scare di momen-momen tepat maupun bagaimana menaik-turunkan unsur ketegangan untuk mendapatkan hasil yang efektif.

                Sang sineas yang juga turun tangan dalam merumuskan skripnya juga menyadari bahwa dialog tidak akan efektif pun penting untuk film dengan formula kisah semacam ini, yang membuat film ini impresif. Dengan kecermatannya itulah ia mampu menjadikan film ini miliknya. Beberapa ‘kecacatan’ film ini paling hanya upaya Alvarez memberikan sedikit twist yang sayangnya tidak terlalu berhasil dan menjelang adegan ending-nya yang terkesan dilama-lamakan, namun di luar itu, dengan segala keterbatasannya, sang sineas mampu memberikan sebuah paket tontonan drama suspense yang rasanya akan menjadi salah satu film terbaik tahun ini.




(Screen Gems)
Directed by: Fede Alvarez
Starring: Jane Levy, Dylan Minnette, Stephen Lang, Daniel Zovatto
Genre: Drama, Thriller, Horror
Running time: 88 minutes


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar